Gue merupakan salah satu dari sekian banyak anak rumahan. Apa itu anak rumahan? Yang pertama-tama,
tolong bedakan antara rumahan dengan
murahan. Memang tujuan kami menjadi
anak rumahan salah satunya adalah berhemat, tapi bukan itu tujuan utama kami. Kami
adalah sekumpulan orang yang sukanya diam di rumah, dan menghabiskan waktu
senggang di rumah. Sangat jarang banget sih ditemui anak muda rumahan, karena
jaman sekarang kan anak-anak muda sukanya nongkrong di mall.
Dan karena gue anak rumahan itulah, gue menjadi seperti
orang udik, ketika diajak berpergian
ke luar kota. Waktu itu nenek gue lagi ultah yang ke 80 tahun, dan semua
keluarga besar diwajibkan datang. Awalnya gue gak mau ikut pergi, karena harus
ke luar kota pula, tapi karena undangan ini juga bersifat ancaman (ngeri juga sih), akhirnya dengan terpaksa, gue pergi.
Sewaktu abis check-in
di Bandara Juanda, gue langsung berubah menjadi anak muda alay. Gue ambil tiket
pesawat gue, lalu gue foto, dan upload
di sosmed. Menjijikan sekali. Tapi jujur, gue kagum dengan tiket itu. Karena nama
kita bisa berubah di tiket pesawat. Kalian yang sering pergi pasti tau, kalo
nama kalian di tiket akan di bolak-balik, bahkan ada huruf yang hilang. Misalnya
nama kalian Joko Susanto, di tiket
menjadi Susant Jok. Keren kan.
Gue ketiduran di pesawat, dari mulai take off sampe sesaat sebelum landing.
Gue yang lagi asyik-asyiknya tidur, tiba-tiba terbangun karena goncangan keras.
Gue mulai membuka mata, dan melihat pesawat bergetar dengan keras. Gue panik,
jangan-jangan kita mau jatuh. Tidakk, gue gak mau mati sekarang. Gue masih
belom ulangan matematika, gue masih jomblo pula. Tuhan, apakah ini semua akan
berakhir?
Gue melihat bapak-bapak yang duduk disebelah gue, dia
tampak tidur dengan tenang. Buset bapak, ini kita mau jatuh, eh malah
enak-enakan tidur. Gue melihat sekeliling, semua penumpang tampak tenang. Hah? Kenapa
mereka bisa setenang ini? Nyokap dan adek-adek gue juga kalem-kalem aja tuh.
‘Penumpang yang
terhormat, kita sudah mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, waktu
menunjukkan pukul 13.10 WITA...’ ucap pramugari pesawat.
Bujug buset bumi
gonjang ganjing langit terbelah empat, ternyata tadi itu Cuma landing biasa toh. Ternyata jadi anak
rumahan itu ada gak enaknya. Kita tampak seperti orang aneh, masa pesawat landing dibilang mau jatoh. Jadi malu
gue, dan untungnya gak ada yang tau kelakuan norak gue tadi.
Kami dijemput Paman gue tercinta (kalo kalian pernah baca
blog gue yang dulu, paman yang ini pernah gue ceritain). Di dalam perjalanan,
gue ngeliatin keadaan disana. Beda banget, beda banget tata kotanya sama
Surabaya. Trus langit disana seakan lebih dekat dengan kita. Awannya juga
tebel-tebel banget. Kok bisa keren kayak gini ya.
Dulu gue berpikir, bahwa kota-kota di pulau lain (selain
Jawa) itu pasti tidak senyaman dan sebagus kota Surabaya. Dan ada satu
pertanyaan yang gak pernah gue bisa jawab. Gimana sih keadaan di kota-kota
lain, misalnya di Jambi, apakah sama dengan kota tempat gue tinggal? Atau daerah
di Sulawesi, apakah sama dengan di Jawa? Sekarang gue tau jawabannya. Tempat-tempat
itu berbeda satu sama lain, dan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Kelebihan dari Banjarmasin adalah, cewek disana cantik-cantik banget. Bahkan gue sempet naksir sama
salah satu dari mereka (baca postingan gue yang judulnya kenalan dong). Namanya Carollin, dia sekolah di Surabaya dan
berasal dari Banjarmasin. Tapi kelemahannya, disini rawan kejahatan, rawan
hujan dan banjir, dan juga jalannya ruwet, bikin nyasar.
Setelah acara selesai, gue langsung pulang kembali ke Surabaya.
Di pesawat, gue gabisa tidur. Karena tadi abis ngopi di Lounge. Apa itu Lounge?
Itu adalah sebuah ruang tunggu khusus, dimana mereka yang masuk kesana harus
memiliki salah satu dari sekian banyak kartu kredit yang menjadi prioritas (gue
juga gak paham maksudnya). Beruntung banget paman gue punya kartu kreditnya,
jadi gue sekeluarga dimasukkan ke Lounge.
Keuntungan menunggu di Lounge adalah, ada makanan
dan minuman gratis, ruangan cukup mewah,
serta akses yang dipermudah menuju ke pesawat. Karena di Lounge isinya orang elite
semua, gue mau gak mau harus jaga sikap. Tau kan, kalo ada makanan gratis, gue
bakal makan dengan berahi tinggi. Akhirnya gue Cuma ngambil roti dan secangkir
kopi. Jadinya di pesawat gue gak bisa tidur deh.
Gue melihat awan-awan yang ada dibalik jendela pesawat. Gue
jadi inget pelajaran Geografi tentang lapisan-lapisan Atmosfer, juga tentang
jenis-jenis awan. Pesawat umumnya terbang di lapisan Stratosfer, karena di
lapisan ini tidak ada awan yang dapat menganggu penerbangan. Ada awan stratus,
nimbus, dan masih banyak lagi. Andai aja pelajaran tentang atmosfer ada
prakteknya, pasti seru tuh.
‘Lo ngeliatin
apaan?’ tanya temen gue
‘Nggak liat apa-apa
kok’ jawab gue
Hari itu kelas 10 di sekolah gue lagi fieldtrip ke Bangkalan Madura. Disana kami
mengamati keadaan ekosistem pesisir pantai. Tempat yang kami tuju lumayan
keren, viewnya cukup bagus, tapi
sialnya, hujan turun ditengah-tengah penelitian kami. Kelompok gue terdampar di
bis. Bukannya meneliti, kelompok gue malah foto-foto.
Setelah hujan reda, kami mulai penelitian kembali. Gue berdiri
di ujung pantai, memandang ke arah langit. Melihat deru ombak yang menabrak
karang, seakan-akan berkata ‘Sampe kapan
lo meratapi nasib kayak gini’. Andai aja gue punya pacar, gue bisa ngajak
dia ke pantai yang indah, melihat ke langit bareng-bareng, menikmati indahnya
alam ciptaan Tuhan ini.
Antara kau, aku dan Stratosfer.
Komentar
Posting Komentar